MANADO - Penyelenggara negara diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaan sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi; serta Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Untuk anggota DPRD Sulut sendiri nampaknya belum mampu menjalankan aturan tersebut, pasalnya sampai saat ini dari 45 anggota baru segelintir anggota DPRD Sulut yang menyelsaikan pengisian berkas LHKPN.
Bartolomeus Manonutu Sekertaris DPRD Sulut membenarkan belum lengkapnya pengisian berkas dari anggota dewan dan diharapkan pekan depan semua berkas dapat selesai terisi untuk dimasukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kalau semua sudah lengkap, setidaknya setengah saja pekan depan tahap pertama sudah dapat saya masukan ke KPK," tegas Manonutu Rabu (13/15/2017).
Sementara itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Agus Rahardjo, menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga yang paling tidak taat dalam penyampaian laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN). Tingkat kepatuhan DPRD hanya sekitar 30-40 persen.
“DPR lebih baik dari DPRD. DPR jauh lebih tinggi. Tapi masih banyak juga yang belum lapor. Segera kami akan sosialisasi ke banyak kementerian dan lembaga agar lebih patuh,” kata Agus dalam sosialisasi e-LHKPN bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (14/3/ 2017).
Melihat situasi ini, direspon tegas oleh Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo yang rencananya, akan membuat peraturan untuk memberikan sanksi pada pejabat yang mokong tersebut. Salah satu sanksi yang dirancang adalah mengumumkan nama pejabat yang tidak taat itu ke media massa.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menuturkan, selama ini pejabat negara merasa tidak harus menyerahkan LHKPN karena memang tidak ada sanksi. Karena itu sanksi ini dirancang untuk memberikan rasa jera. "Kami siapkan dulu sanksinya, terangnya.
Salah satu sanksi yang dipertimbangkan adalah mengumumkan nama pejabat itu ke media massa. Hal tersebut ditujukan untuk memberikan sanksi sosial pada pejabat, karena tidak mematuhi aturan yang ada. "Kita permalukan dia di hadapan masyarakat," paparnya.
Awalnya, sanksi ini akan diterapkan pada semua pejabat daerah tingkat II, dari kepala daerah, seperti bupati dan wali kota dan pejabat eselon I, II dan III. Bahkan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga wajib dapat sanksi ini jika tidak menyerahkan LHKPN. "Untuk sementara berlaku di Kota dan Kabupaten, nanti bisa saja ke Provinsi. Kami targetkan tahun depan bisa selesai aturannya," tandasnya.(Obe)