SULUT - Sekarang Sulawesi Utara, juga provinsi lainnya di Indonesia sedang Panen Cengkih. Bagi masyarakat Sulut, Cengkih merupakan salah satu komoditi andalan dalam menopang ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya. Begitu banyak masyarakat tergantung pada komoditi ini, kendati harganya dalam banyak hal tidak sesuai harapan masyarakat. Bahkan seringkali setelah panen raya datang, harga Cengkih justru anjlok, bahkan berada dibawah nilai produksinya jika dihitung dari per kilo gram kering.
Makanya jangan heran kalau ada petani yang tidak bisa memetik cengkihnya sendiri karena harga tidak akan menutupi biaya produksi, seperti biaya tanam, pemeliharaan, biaya kerja/petik sampai pada biaya pengeringan. Belum lagi soal biaya transportasi dari kebun kerumah dan dan dari rumah ketika akan dijual ke pedagang pembeli. Masalah ini menjadi rumit bagi petani ditambah lagi tidak memiliki dana pra panen.
Bertahun-tahun masalah Petani Cengkih tidak mendapatkan solusi dari Pemerintah. Atau mungkin sengaja tidak diberikan solusi karena berbagai hal yang melibatkan hubungan luar negeri dengan negara lain misalnya. Atau mungkin ada kebijakan yang harus dikomunikasi dengan pihak berkepentingan dengan komoditas Cengkih ini, seperti misalnya para pemilik Perusahaan Rokok besar yang nota bene sebagai pembayar pajak terbesar di Indonesia.
Makanya, jawaban bahwa "Pemerintah tidak bisa mengintervensi harga dipasaran," merupakan suatu keniscayaan yang harus diterima dengan akal sehat. Padahal, bagi saya jabawan ini adalah argumen kehabisan akal dan hanya cari gampang tanpa memberikan solusi. Pernyataan begini sangat menyakitkan hati Petani Cengkih, apalagi selalu berlindung pada konsepsi "Mekanisme Pasar."
Soal mekanisme pasar ini menjadi momok dari Petani Cengkih dan mengindikasikan bahwa seolah-olah pemerintah tidak punya keinginan dan kemauan untuk mencari jalan keluar bagaimana agar Cengkih yang telah memberikan kontribusi besar terhadap ekononi nasional ini dapat mensejahterahkan petaninya.
Hampir 10 % APBN berasal dari Pita Cukai Rokok Kretek. Demikian halnya pembayar pajak besar di Indonesia adalah para pengusaha rokok seperti Djarum, Sampoerna, Gudang Garam, Bentoel dan perusahaan rokok lainnya. Mereka menjadi Konglomerat karena Cengkih lewat perusahaan rokoknya berpuluh-puluh tahun, bahkan sudah mengembangkan usahanya ke sektor yang lain seperti perhotelan, ritel-ritel, perbankan dll dimana semua ini merupakan masukan untuk negara lewat pajaknya.
Kembali ke mekanisme pasar. Disini Harga Cengkih BISA diintervensi asalkan Pemerintah mau melaksanakannya, yakni ada political will ditingkat pemerintah dan DPR RI dengan merobah lebih awal soal regulasi sehubungan dengan tanaman Cengkih. Pemerintah bisa keluarkan kebijakan adanya Patokan Harga Dasar (PHD) jika dimungkingkan untuk Cengkih asalkan cengkih dijadikan Komoditas Strategis. Misalnya PHD 125 ribu per kg kering dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) 175 ribu misalnya. Fluktuasi harga bermain diatas 125 ribu, tidak bisa di bawah 125 ribu jika ada kebijakan PHD. Sekali lagi soal PHD ini debatable (ada bahasan dan argumentatif) alias perlu pemahanan bersama jika memang bisa diterapkan.
Tapi ada beberapa regulasi harus dirobah oleh Pemerintah terutama UU Tembakau sebab tidak ada UU Cengkih, padahal Cengkih merupakan campuran tembakau untuk Rokok Kretek di Indonesia dan satu-satunya didunia.
Demikian halnya soal Cengkih yang selama ini hanya merupakan hasil Hutan, harus dirobah sebagai hasil pertanian atau perkebunan. Hal ini penting, supaya Cengkih bisa ditetapkan sebagai Komoditas Strategis Nasional. Jika Cengkih sebagai komoditas strategis, maka ketika Cengkih anjlok Pemeritah mempunyai kewajiban untuk proteksi.
Kenapa Cengkih harus ditetapkan sebagai Komoditas Strategis ? Alasan dan argumen atas kepantasannya adalah karena ;
1. Cengkih memberikan devisa besar kepada negara lewat cukai rokok.
2. Cengkih diproduksi oleh petani di hampir 15 provinsi di Indonesia.
3. Cengkih menyerapkan tenaga kerja yang cukup besar baik petani, buruh tani dan buruh/pekerja diperusahaan-perusahaan rokok besar di Indonesia.
Jika ini terwujud, maka petani Cengkih akan sejahtera sebab tercipta simbiosis mutualisme antara Pemerintah, Pengusaha/Perusahaan Rokok dan Petani Cengkih.
Penulis:
Paulus Adrian Sembel, Aktivis Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI).